Hidup adalah Sebuah Pilihan
WWW.PERSPEKTIF BARU.COM
Edisi 691 | 14 Jun 2009 |
Tamu kita sekarang Rina Prasarani, seorang wanita berusia 34 tahun. Rina yang tuna netra memiliki pekerjaan sebagai operator telepon di sebuah hotel berbintang
lima di Jakarta. Dia juga aktif di berbagai organisasi antara lain di Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) sebagai Kepala Departemen Pemberdayaan Wanita.
Rina mengungkapkan perempuan tuna netra atau penyandang cacat mendapatkan diskriminasi ganda yaitu sebagai penyandang cacat dan wanita. Jadi, sebagai perempuan
sudah mendapat diskriminasi, kemudian juga diskriminasi sebagai penyandang cacat. Apalagi kalau datang dari keluarga yang miskin maka beban diskriminasi
menjadi berlipat tiga. Selain itu, banyak perempuan-perempuan tuna netra atau penyandang cacat yang mendapat kekerasan budaya tanpa kekerasan. Artinya,
kekerasan budaya justru banyak ditimbulkan dari kasih sayang, dimana perempuan tuna netra diharuskan di rumah saja, tidak usah kemana-mana. Akhirnya, mereka
tidak mendapatkan akses pendidikan, kalau mereka tidak mendapatkan akses pendidikan maka mereka akan menjadi tidak berpendidikan sehingga saat dewasa mereka
tidak dapat mengakses pekerjaan. Pada akhirnya itu menimbulkan dan menguatkan stigma bahwa perempuan tuna netra adalah beban keluarga.
Kini Rina aktif baik secara pribadi maupun melalui organisasi Pertuni untuk menghilangkan diskriminasi tersebut. "Saya ingin turut menjadi bagian, walaupun
terkecil saja tidak apa-apa. Tidak usah yang besar tapi yang kecil saja untuk ikut berpartisipasi dalam perubahan yang lebih baik."
Berikut wawancara Wimar Witoelar dengan Rina Prasarani Alamsyah.
Rina masih saudara saya, yaitu putri dari sepupu saya Berry Bismari Tanukusuma. Untuk menceritakan sosok Rina, saya bacakan satu kutipan kalimat dari sebuah
media nasional. "Daya penglihatan Rina Prasarani kian menurun di usia remaja akibat digerogoti penyakit Retinitis Pigmentosa (RP). Sempat diliputi amarah
dan kebingungan tapi tidak sampai larut, dia malu kalau harus membebani orang lain." Sekarang Rina bukan saja tidak membebani tapi juga memberikan inspirasi
dan nilai tambah bagi banyak orang. Saat ini saya mendengar Rina baru pulang dari Korea, suatu perjalanan yang tidak terbayangkan oleh orang lain dengan
kondisi fisiknya. Kemana saja perjalanan yang telah Rina lakukan selama ini?
Kalau mewakili Indonesia untuk kegiatan penyandang cacat, saya pernah ke Australia, Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia, Jepang, Filipina, Swiss, Afrika
Selatan, dan juga Korea.
Luar biasa. Jadi perjalanan ke Korea itu yang terkini. Apa saja yang dilakukan di Korea?
Di sana ada leadership training yang diselenggarakan Disable People International. Ada aplikasi pendaftaran yang disebarkan dan kita mendaftarkan diri.
Kebetulan tahun ini hanya tiga negara yang dipilih yaitu Indonesia, Thailand dan Nepal. Kebetulan yang dipilih dari Indonesia adalah saya. Kegiatan tersebut
selama satu minggu
Saya selalu melihat Rina menyanyi di depan umum. Bagaimana kegiatan Anda sebagai vokalis?
Kebetulan saya aktif di Diferensia Band. Diferensia adalah sebuah kata yang kami buat untuk mengganti kata penyandang cacat, dimana sebenarnya kami berbeda
tapi bagi kami, "Just like you, we are normal, and just like me, we are different."
Berapa lama Rina baru menyadari hal tersebut karena penyakit Anda terjadi saat mahasiswa?
Sebenarnya dari kecil, hanya hambatannya saat itu tidak terlalu signifikan. Jadi tidak menghalangi kegiatan saya sehari-hari. Hanya saja pada saat saya
mahasiswa, kalau bergerak dan menuruni tangga sering jatuh. Sebenarnya yang membuat saya tidak ingin terlalu lama larut adalah pada tahun 1986 ayah saya
terserang stroke di usia 46 tahun saat masa produktifnya. Ayah sangat down dan itu sangat berdampak pada ibu saya. Pada saat yang bersamaan, saya dan adik
divonis Retinitis Pigmentosa. Bayangkan jika kami juga ikutan down, bagaimana ibu saya? Itu yang membuat kami bangkit. Kemurungan kita adalah the last
thing that my mom needs.
Rina pada usia muda mengalami dua tantangan. Satu, ayahnya mendapat stroke. Sepupu saya Bery (orang tua Rina) itu orang yang sangat aktif, dia sering juara
tenis meja. Dia sangat lincah bergaul, sekonyong-konyong stroke pada usia 46 tahun, pada saat Rina dan adiknya serius menghadapi penyakit pada matanya.
Namun sangat ajaib bahwa baik Rina maupun Jaka (adik Rina) malah bisa menjadi inspirasi bagi keluarga. Walaupun berat untuk dibicarakan, saya ingin melihat
dari segi yang praktis. Apakah Rina untuk bisa berfungsi aktif tanpa penglihatan mengikuti pelatihan atau ada penyesuaian dulu?
Pada saat saya menyadari akan kehilangan penglihatan, saya mulai lebih mengandalkan intuisi pendengaran, lalu hafalan di mana setiap kira-kira beberapa
meter harus belok ke mana, itu kalau tempatnya familiar. Mungkin kalau ke tempat baru biasanya agak sulit. Tapi saya kan hanya kehilangan mata, tidak kehilangan
mulut untuk bertanya di mana dan ada apa? Jadi, kebetulan masih saja ada orang-orang baik di jalan yang mau membantu.
Kalau saya lihat di negara-negara Barat orang tuna netra banyak yang menolong di jalan. Apakah di Jakarta juga begitu?
Masih ada, cuma caranya kadang salah. Misalnya, saya pergi ke kantor membawa tas ransel dan naik bus way. Kalau saya turun dari tangga bus way di depan
kantor biasanya hanya ada ruang sedikit untuk belok ke kiri menuju trotoar lagi. Jadi di depannya langsung jalan raya. Saya sudah tahu harus ke mana karena
sudah sehari-hari ke kantor. Tapi orang lain mungkin tidak tahu kalau saya sudah hafal jalan di situ. Jadi, dia tarik ransel saya dan saya reflek menepis
tangannya karena khawatir pada copet. Padahal maksud dia baik, agar jangan sampai saya jatuh ke jalan.
Jadi Rina kalau pergi kerja sendiri, betulkah?
Iya, sendiri. Kebetulan di dekat rumah saya ada halte Trans Jakarta dan di dekat kantor juga ada. Jadi lebih mudah.
Lalu, soal lainnya seperti bagaimana cara Anda bisa memakai telepon genggam (handphone) atau apakah handphone Anda khusus memiliki huruf timbul (braille)?
Handphonenya biasa, cuma dipasang satu software yang namanya Talk. Namun software Talk ini hanya bisa dipasangkan pada handphone-handphone yang sudah mempunyai
sistem operasi symbian. Jadi kalau ganti menu dan lainnya ada suara, tapi logatnya bule karena dia membacanya sesuai bahasa Inggris, seperti ‘a’ dibacanya
‘ei’. Saya sudah biasa pakai sehari-hari jadi sudah tahu apa yang diucapkannya. Kalau yang sudah mengenal saya biasanya mengirim pesan singkat (sms) kepada
saya memakai bahasa Inggris, itu jauh lebih mudah.
Saya jadi teringat kembali pada Rina setelah menerima pesan dari kakak saya Luki Witoelar. Dia mengatakan Rina ada di facebook. Hebat sekali. Saya mengetahui
Rina memiliki banyak akal. Tapi saya ingin bertanya bagaimana cara Rina mengisi facebook sebagai tuna netra?
Sama saja. Jadi di laptop atau komputer yang biasa dipasangkan software bernama Job Access With Speech untuk Windows (JAWS, software aplikasi membaca teks
yang berfungsi di sistem operasi Windows). Jadi, apa yang tertulis bisa dikonversikan menjadi audio sehingga bisa saya dengarkan kecuali gambar. Kalau
di bawah gambar itu ada tulisan maka saya tahu mengenai gambar itu.
Apakah papan ketiknya (keyboard) khusus?
Tidak. Kalau kita perhatikan keyboard pada huruf F dan J itu ada titik. Semua
keyboard pasti ada tanda seperti itu, juga di telepon. Jadi untuk orang yang benar-benar bisa mengetik, yang sebetulnya tidak boleh melihat keyboard, karena
dia harus melihat teks, mengetik dengan 10 jari. Jadi sama dengan saya juga tidak perlu melihat teks.
Menurut pengamatan Rina, apakah Anda termasuk yang sangat luar biasa di kalangan blind people karena menghadapi hidup dengan sangat tegar begitu?
Sebetulnya, saya lebih senang disebut dengan happy blind woman.
Sekarang mengenai hal-hal praktis yang Anda bisa hadapi, tapi kami sendiri suka susah menghadapinya seperti menghadapi tempat pemilihan suara di Pemilu.
Tentu dalam hal ini tuna netra mempunyai problem lebih banyak. Bagaimana ceritanya?
Betul. Dari awal perubahan sistem coblos ke penandaan (contreng) saja tanpa disadari sudah berdampak luas bagi tuna netra.
Waktu itu sebetulnya kami sangat marah. Namun, yang sangat disayangkan adalah perubahan itu, katanya, karena sistem coblos masih mencerminkan peradaban
yang belum maju. Menurut saya, kalau mau maju jangan memakai pulpen, tapi elektronik sekalian karena kita juga bisa menyelamatkan alam. Bayangkan berapa
pohon yang harus ditebang untuk Pemilu kita. Selain itu, sistem penandaan juga tidak mengakomodir kerahasian hak pilih bagi tuna netra. Kebetulan kemarin
kita coba untuk mendesain satu template sebagai alat bantu pilih bagi tuna netra. Bentuknya seperti map dan surat suaranya dimasukkan di sana. Jadi surat
suaranya sama seperti pemilih lain tapi di map ini ada seperti braille sehingga kita tidak salah untuk memberi tanda pilihan. Namun itu baru bisa diciptakan
untuk kertas suara pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) karena untuk surat suara untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sangat rumit, mencantumkan banyak
nama-nama calon. Sebagai awal hal itu sudah okay, cuma yang sangat kita sangat sayangkan adalah sudah disetujui template
itu untuk DPD tapi distribusi untuk alat bantu ini tidak merata dan pembuatannya tidak standar juga. Jadi ada braille yang tidak terbaca, ada surat suara
yang tidak pas dengan template sehingga banyak sekali kekacauan di sana.
Itu sebetulnya lebih baik diatur dalam peraturan Pemilu maupun lainnya. Sejauh mana orang tuna netra mempunyai representasi untuk kepentingannya di dalam
badan-badan legislatif?
Sebetulnya memang seharusnya kita masuk sebagai calon anggota legislatif (Caleg). Kebetulan kemarin juga banyak teman-teman dari penyandang cacat yang mengkaderkan
diri menjadi Caleg. Yang baru saya tahu adalah kalau tidak salah di Bantul ada tuna netra yang berhasil terpilih menjadi anggota legislatif. Mudah-mudahan
dari sini kita bisa menyalurkan aspirasi tuna netra karena terus terang saat ini masih kurang kepedulian pada tuna netra. Misalnya, peraturan lalu lintas
yang baru disahkan tidak berpihak pada penyandang cacat. Ada satu pasal yang meminta untuk pejalan kaki penyandang cacat diberi tanda. Yang sangat marah
sekali adalah orang-orang tua dari penyandang cacat tuna grahita. Bayangkan, dengan beban mereka sudah menjadi penyandang cacat tapi masih harus ditandai
lagi. Itu menjadi beban psikologis. Mungkin maksudnya baik tapi karena ketidaktahuan atau caranya salah. Padahal pembuat kebijakan sudah sering bolak-balik
ke luar negeri, tapi masih membuat kebijakan seperti ini.
Selain perwakilan langsung, apakah Anda juga mempunyai perwakilan di media massa barangkali ada orang yang suka menulis di koran atau seperti sekarang muncul
di acara radio atau di forum lain? Apakah hal itu suka Anda lakukan sebagai pengurus Pertuni?
Kita pernah melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR dan juga
talkshow-talkshow di televisi, tergantung isunya. Saat ini yang kita banyak dengungkan adalah masalah Pemilu tadi, tetapi ada hal-hal lain juga misalnya
masalah pendidikan, ketenagakerjaan yang kita coba advokasikan pada setiap kesempatan.
Apakah hal itu tidak membuat kehidupan Rina lebih stres karena memikirkan persoalan banyak sekali, walaupun semua orang Indonesia juga stres tetapi pada
umumnya tidak mau menambah beban pribadi?
Saya justru bangga bisa menjadi bagian dari itu semua. Jika memang ada perubahan di sana, saya ingin turut menjadi bagian, walaupun terkecil saja tidak
apa-apa. Tidak usah yang besar tapi saya dapat ikut berpartisipasi dalam perubahan yang lebih baik.
Hal yang bisa kita pelajari dari sikap Anda karena perubahan itu pasti datang cuma kita tidak tahu ke arah mana. Lalu, apa yang menjadi perhatian Anda dan
kawan-kawan ke depan?
Masalah perempuan tuna netra atau penyandang cacat. Kami mendapatkan diskriminasi ganda yaitu sebagai penyandang cacat dan perempuan. Jadi, sebagai perempuan
sudah mendapat diskriminasi, kemudian juga diskriminasi sebagai penyandang cacat. Apalagi kalau kita datang dari keluarga yang miskin maka beban diskriminasi
menjadi berlipat tiga.
Banyak perempuan-perempuan tuna netra atau peyandang cacat yang mendapat kekerasan budaya tanpa kekerasan. Artinya, kekerasan budaya itu justru ditimbulkan
dari banyaknya kasih sayang, dimana perempuan tuna netra diharuskan di rumah saja, tidak usah kemana-mana. Akhirnya, mereka tidak mendapatkan akses pendidikan,
kalau mereka tidak mendapatkan akses pendidikan maka mereka akan menjadi tidak berpendidikan sehingga saat dewasa mereka tidak dapat mengakses pekerjaan.
Pada akhirnya itu akan menimbulkan dan menguatkan stigma bahwa perempuan tuna netra adalah beban keluarga.